Lonceng Cakra Donya Bukti Hubungan Baik Aceh dan Tiongkok

Sekilas kehadiran Lonceng Cakra Donya ini ke Aceh memiliki sejarah panjang dan sangat menarik untuk diketahui, karena lonceng tersebut menjadi tanda sekaligus bukti sejarah harmonisasi hubungan antara dua negara yang berbeda, yaitu Kesultanan Pasai dengan Disnati Ming.

Waktu Baca 12 Menit

Lonceng Cakra Donya Bukti Hubungan Baik Aceh dan Tiongkok

Rizkan Ramadhan*

Aceh merupakan salah satu wilayah yang amat kaya akan nilai budaya dan sejarah. Maka tak jarang begitu banyak orang yang meneliti nilai-nilai budaya serta sejarah Aceh. Sebagai tanah rencong, Aceh sering mendapat perhatian khusus karena keberadaannya yang sangat banyak memiliki berbagai benda pusaka peniggalan masa lalu kerajaan Islam Aceh yang kini diabadikan, di antaranya rencong, siwaih, lonceng cakra donya dan beragam peninggalan lainnya.

Tulisan ini fokus pada hubungan antar negara di masa lalu Aceh dari kacamata Lonceng Cakra Donya. Lonceng Cakra Donya merupakan benda peninggalan masa Kesultanan Samudera Pasai yang kini masih berdiri kokoh dan dapat ditemui di halaman depan Museum Aceh yaitu di jalan Sultan Mahmudsyah No. 10, Peuniti, Kecamatan Baitturahman, Kota Banda Aceh.

Sekilas kehadiran Lonceng Cakra Donya ini ke Aceh memiliki sejarah panjang dan sangat menarik untuk diketahui, karena lonceng tersebut menjadi tanda sekaligus bukti sejarah harmonisasi hubungan antara dua negara yang berbeda, yaitu Kesultanan Pasai dengan Disnati Ming.

Kesultanan Pasai merupakan kerajaan islam pertama di Nusantara bahkan Asia Tenggara (saat ini terletak di Aceh Utara). Sedangkan Disnati Ming merupakan salah satu dinasti yang ada di Tiongkok (China) yang didirikan dari pemberontakan petani. Wilayah Kesultanan Samudera Pasai saat itu kaya dengan rempah rempah hingga melakukan perdagangan antar negara atau ekspor ke berbagai wilayah di dunia tak terkecuali Dinasti Ming, Tiongkok.

Seiring harmonisnya hubungan kedua negara tersebut, mendorong Kaisar Yonglee Dinasti Ming menghadiahkan sebuah lonceng besar kepada Kesultanan Pasai yang saat itu dipimpin dan diterima langsung oleh Sultan Zainal Abidin. Dalam catatan sejarah, hadiah tersebut diberikan Kaisar Yonglee pada tahun 1411 M. 

Lonceng Cakra Donya. (Foto: Win Ansar Salihin)

Lonceng Cakra Donya memiliki tinggi 1,25 meter dan lebar 1 meter. Lonceng ini dibawa langsung oleh utusan Kaisar Yong Lee yaitu Laksamana Ceng Hoo dalam ekspedisinya ke Aceh pada abad ke-15. Pada abad 16, Samudera Pasai dikuasai oleh Kerajaan Islam Aceh kemudian lonceng tersebut dibawa ke pusat kota kerajaan di Bandar Darussalam atau Banda Aceh sekarang. Saat itu Banda Aceh dikenal sebagai Kutaradja yang dipimpin oleh Sultan Ali Mugayat Syah.

Pada abad ke-17 Sultan Iskandar Muda (1607-1636) meletakan loceng yang berbentuk stupa itu di salah satu kapal perang Aceh yang bernama Cakra Donya, sehingga nama lonceng tersebut dinisbatkan ke kapal tersebut dan dikenal sebagai Lonceng Cakra Donya hingga saat ini. Menurut hemat penulis, lonceng raksasa itu dibuat pada tahun 1409 M dan diserahkan kepada Samudera Pasai pada tahun 1414 M. Cakra berarti kabar dan donya berarti dunia, sehingga karna pada saat itu kegunaan lonceng tersebut sebagai media untuk menyampaikan kabar pada dunia, termasuk sebagai isyarat perang.

Akibat dari besarnya ukuran lonceng tersebut, Portugis menyebutnya sebagai espanto del mundo atau teror dunia. Lonceng tesebut pernah berpindah tangan ke Portugis karna di rampas akibat kegagalan ekspedisi peperangan di Selat Malaka. Namun pada akhirnya lonceng ini dikembalikan lagi mengingat hadiah terbesar dan tanda harmonisasi hubungan antara Kesultanan Aceh dan Disnati Ming yang dinilai sangat berharga.

Melirik kembali kepada laksamana Cheng Ho yang merupakan seorang kasim yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Yongle dari Tiongkok (berkuasa tahun 1403-1424), kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Nama aslinya adalah Ma He, juga dikenal dengan sebutan Ma Sanbao berasal dari provinsi Yunnan. Ketika pasukan Ming menaklukkan Yunnan, Cheng Ho ditangkap dan kemudian dijadikan seorang kasim.

Cheng Ho adalah keturunan suku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku Han tetapi memeluk agama Islam. Cheng Ho melakukan pelayaran ke Malaka pada abad ke-15. Laksamana Cheng Ho beragama islam, ditemukan makamnya berada di kawasan Niu Shou Shan (Gunung Niu Shou) Kota Nanjing Provinsi Jiangsu, China. 

Dengan bukti ditemukan baju kebesaran Laksamana Cheng Ho di makam tersebut, dan di atas makam tersebut bertuliskan Bismillahirrahmanirrahim dalam Bahasa Arab. Saat itu Aceh menjadi tempat yang sangat strategis untuk jalur perdagangan karna perlintasan dengan laut dari timur tengah, kemudian dari tiongkok menuju India, Timur Tengah dan Afrika  begitu sebaliknya. Maka oleh karna itulah terjalinnya keharmonisan hubungan antar Disnati Ming dan Kesultanan Aceh pada saat itu yang berupa hubungan perdagangan dan juga keamanan dengan perwujudan hadiah yang diserahkan oleh Dinasti Ming berupa lonceng raksasa. 

Adapun fungsi lonceng cakra donya itu telah mengalami banyak perubahan. Suaranya yang besar sehingga menjadi salah satu cara untuk pemberi aba aba untuk berperang, kemudian menjadi alat untuk memanggil orang shalat, pemberi tanda waktu berbuka puasa di bulan Ramadhan, juga menjadi alat untuk mengumpulkan masyarakat apabila ada maklumat dari Sultan Aceh. 

Tak lupa pula bahwa Lonceng Cakra Donya pernah dianggap keramat dan berhantu oleh masyarakat Aceh pada saat kolonial belanda pada masa jabatan Gubernur Militer dan Sipil Aceh, H.N.A Swart sejak anak lonceng tersebut hilang maka suara dentangnya yang besar pun tidak pernah di dengar kembali.

Pada 2 Desember 1915, Swart memerintahkan prajuritnya agar lonceng tersebut diturunkan dari pohon glundong karna khawatir dahan pohon yang menahan beratnya lonceng tersebut patah dan merusak lonceng tersebut akibat jatuh ke tanah.

Masyarakat Aceh yang pada saat itu menganggap lonceng tersebut keramat maka orang orang Tionghoalah yang menurunkan lonceng tersebut. Setelah lonceng tersebut diturunkan kemudian dibiarkan begitu saja di atas tanah, lalu tak lama setelah nya banjir besar melanda Koetardja.

Pada 13 Desember 1915, salah seorang utusan (orang Aceh) datang bertemu Gubernur militer dan berkata sebab banjir tersebut adalah karna peletakan lonceng tersebut tidak sesuai pada tempatnya, sehingga Swart memerintahkan agar lonceng tersebut digantung di bawah panggung Aceh yang kini telah menjadi museum. Lalu banjir pun surut, namun di tahun berikutnya banjir kembali datang dan utusan tersebut kembali menemui swart dan menyampaikan bahwa lonceng tersebut masih belum diletakan pada tempat yang tepat. Lalu ia menyarankan agar lonceng itu dibangun bilik khusus dan ditempatkan berpisah dari rumoh Aceh setelah itu Swart membangun bilik khusus untuk menggantung lonceng tersebut dan sampai saat ini lonceng tersebut di gantung di sebuah bilik yang ada di museum Aceh. 

Pada 1915 M, lonceng Cakra Donya dipindahkan ke Museum Aceh tepat keberadaan Cakra Donya saat ini Museum Aceh. Sekilas Museum Aceh, terdiri dari tiga gedung pameran yaitu rumoh Aceh yang berada di belakang tempat lonceng tersebut, lalu pameran tetap, dan pameran temporer. Sementara di sebelah kanan lonceng Cakra Donya terdapat gedung perkantoran, bagian kiri terdapat perpustakaan Museum Aceh. Lonceng Cakra Donya yang berada dalam kawasan Museum Aceh berjarak 700 meter dari Masjid Raya Baiturrahman.   

Demikian sekilas sejarah masa lalu Aceh dari sudut pandang Lonceng Cakra Donya. Semoga melalui tulisan ini, penulis mengajak kepada seluruh masyarakat agar terus menjaga dan melestraikan budaya dan sejarah Aceh, sehingga Aceh selaku bangsa yang kaya akan nilai budaya dan sejarah ini dapat diingat oleh generasi yang akan datang juga dapat menjadi semangat untuk perubahan yang lebih baik ke depannya. Semoga!

*Penulis merupakan Mahasiswa Sastra dan Bahasa Arab Fakultas Adab dan Humaniora UN Ar-Raniry

Editor:

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...