Silaturrahmi Kebangsaan di Sedie Jadi
Momentum Menguatkan Perdamaian dan Memutus Mata Rantai Konflik
Desa Sedie Jadi merupakan satu di antara sejumlah desa lainnya terdampak konflik Aceh, antara gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah RI. Di Gayo, konflik tersebut merembet jadi benturan horizontal antar sesama masyarakat. Juni 2001 silam, konflik Aceh mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian materi terhadap masyarakat di Sedie Jadi.
REDELONG, READERS – Masyarakat Desa Sedie Jadi, Kecamatan Bukit, Kabupaten Bener Meriah bersama Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh menggelar kegiatan Silaturahmi Kebangsaan. Kegiatan ini dibalut dengan prosesi ikrar bersama yang mempertemukan para pihak yang terdampak konflik Aceh 20 tahun silam, bertempat di halaman kantor desa setempat.
Kegiatan sakeral tersebut juga turut diresmikan Pemerintah Kabupaten Bener Meriah. Turut hadir jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) kabupaten setempat, Anggota Komisi I DPRA Bardan Sahidi, Wakil Ketua DPRK Bener Meriah, Tgk Husnul Ilmy, Ketua KKR Aceh Masthur Yahya, Sri Waluyo dari Dinas Pendidikan Aceh, sejumlah Kepala SKPK, Camat Bukit beserta unsur Forkopimcam, segenap perangkat Kampung Sedie Jadi serta perwakilan masyarakat dari setiap desa di Kecamatan Bukit, Bener Meriah.
Acara seremonial yang dihadiri ratusan orang ini menjadi puncak dari rangkaian proses panjang yang telah ditempuh selama 2,5 tahun terakhir. Sejak 2019, KontraS Aceh melakukan serangkaian pendekatan dengan masyarakat dari tiga desa di Bener Meriah, yakni Desa Pilar Jaya dan Desa Sedie Jadi di Kecamatan Bukit, serta Desa Makmur Sentosa di Kecamatan Bandar.
Desa Sedie Jadi merupakan satu di antara sejumlah desa lainnya terdampak konflik Aceh, antara gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah RI. Di Gayo, konflik tersebut merembet jadi benturan horizontal antar sesama masyarakat. Juni 2001 silam, konflik Aceh mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian materi terhadap masyarakat di Sedie Jadi.
Kendati konflik Aceh secara resmi berakhir sejak penandatanganan kesepakatan damai dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dan GAM pada 15 Agustus 2005, namun butuh waktu panjang untuk memulihkan relasi sosial antar masyarakat yang sempat didera perpecahan, khususnya di bumi Gayo.
Seiring waktu, situasi sosial di Bener Meriah berangsur pulih. Namun upaya pemenuhan hak para penyintas konflik harus tetap menjadi perhatian utama. Selain pengungkapan kebenaran atas apa yang terjadi di masa lalu, selanjutnya perlu dijalin rekonsiliasi antara para pihak yang pernah terlibat dalam konflik tersebut. Hal ini dilakukan semata-mata untuk pembelajaran akan pentingnya merawat perdamaian, mengembalikan situasi sosial di masyarakat harmonis seperti sedia kala, serta mencegah hal serupa terulang lagi di kemudian hari.
Dalam upaya menjajaki rekonsiliasi, lebih dulu diadakan pertemuan di level komunitas masyarakat desa. Pertemuan ini untuk menggali informasi mengenai situasi warga baik ketika konflik maupun pascadamai, terutama soal dampak-dampak yang mereka alami.
Peristiwa di Sedie Jadi (yang lebih dikenal dengan Peristiwa Kresek) terungkap melalui rangkaian pertemuan tersebut. Peristiwa 21 tahun silam ini, menurut informasi warga, melibatkan kalangan kombatan. Sejak itu, pendekatan terhadap kedua pihak–mantan kombatan dan perwakilan warga— berlangsung kian intensif. Dalam hal ini, silaturahmi terjalin antara mantan kombatan yang diwakili Fauzan Azima dengan Suterisno selaku perwakilan masyarakat Kampung Sedie Jadi.
Berangkat dari kesadaran akan pentingnya menjalin kembali silaturahmi, para pihak sepakat untuk duduk bersama, menyatakan dukungan terhadap penguatan perdamaian dan merawatnya untuk pembelajaran bagi anak cucu, bahwa situasi damai saat ini sangat mahal harganya dan penting dijaga sampai kapan pun.
Jadi Pembelajaran Masa Lalu
Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra mengatakan, silaturahmi kebangsaan ini tindak lanjut dari kesepakatan pada Juli 2006 silam bertajuk Ikrar Musara Pakat Redelong. Jika pada saat itu perdamaian terjadi antara elite GAM dan PETA, maka hari ini hal serupa diterapkan di tingkat komunitas masyarakat.
“Ini jadi kesempatan bagi kita merajut kembali kohesi sosial, terutama bagi kita yang tali persaudaraanya pernah terputus yang barangkali karena keragu-raguan kita masing-masing beberapa waktu lalu, maka hari ini mari kita hilangkan,” kata Hendra.
Hendra juga menyatakan, silaturahmi ini bisa terjalin berkat kebesaran hati kedua pihak (Fauzan Azima dan Suterisno) yang berkenan untuk duduk bersama dan saling memaafkan atas apa yang terjadi di masa lalu.
“Tanpa keduanya, maka acara ini tak akan terlaksana. Dua sosok penting ini yang telah mengukir sejarah penguatan perdamaian Aceh, khususnya di Gayo,” ucap Hendra.
Ungkapan Kedua Pihak
Suterisno, mewakili warga Sedie Jadi dalam sambutannya berterima kasih pada Fauzan Azima, atas niatan bersama yang muncul untuk menempuh jalan silaturahmi ini. Peristiwa Kresek sangat membekas di benak segenap tetua Kampung Sedie Jadi. Karena itu, silaturahmi kebangsaan yang diadakan hari ini menjadi momen penting dalam sejarah perdamaian di Gayo.
“Mari kita kenang peristiwa 21 tahun lalu itu dengan penuh harap, semoga hal serupa tak terulang lagi. Kita harus sependapat, seide, dan sepakat bahwa perselisihan di masa lalu harus segera diakhiri dengan berdamai, saling memaafkan,” kata Suterisno.
Apa yang hari ini terjalin, katanya, adalah bukti bahwa saling memaafkan itu bisa diwujudkan, "Sedie Jadi menjadi daerah yang bisa dijadikan contoh, kita bisa buktikan bahwa ini bisa silaturahmi ini bisa terjalin dengan baik,” pungkasnya.
Sementara itu, tokoh mantan kombatan, Fauzan Azima mengungkapkan, perdamaian di Aceh, khususnya Tanoh Gayo, harus senantiasa dijaga. Perdamaian lah yang membangunkan semua pihak dari situasi keterpurukan seperti yang dialami di masa lalu.
“Kita para pihak yang pernah bertikai hendaknya menyadari hal ini. Jangan sampai muncul konflik, tak hanya antarelit politik, seluruh potensi yang bakal memantik kekerasan harus segera dituntaskan,” ujarnya.
Ia berharap perdamaian yang terjalin antar seluruh masyarakat di Gayo ibarat akar yang menguatkan batang pohon. “Sehingga tak ada angin kebencian dan dendam yang sanggup merobohkannya.”
Fauzan menceritakan, potensi konflik kerap berulang di sejumlah tempat, meski dalam waktu yang berbeda. Ia menyebut beberapa tempat, seperti di Bur Lintang, Uyem Pepongoten, Cot Panglima, Wih Kanis, Wih Konyel, Tajuk Enan-Enang dan beberapa lokasi lain yang menjadi saksi bisu perang yang tak berkesudahan. Baik ketika masa penjajahan Belanda, berlanjut ke peristiwa DI/TII, peristiwa PKI, hingga yang terakhir konflik antara GAM dan Pemerintah RI.
“Maka besar harapan kita dengan momentum silaturahmi ini, di tempat-tempat tersebut tak berulang lagi jadi tempat kekerasan yang baru,” katanya penuh harap.
“Untuk menguatkan perdamaian ini, kita harus mau duduk selantai untuk merumuskan kembali sesama kita. Berdiri sama tinggi untuk melihat masa lalu dan menentukan di masa depan agar damai selalu abadi di tanah Gayo kita,” tegasnya.
Di akhir sambutannya, Fauzan menyampaikan maaf kepada segenap warga Sedie Jadi atas peristiwa yang terjadi 21 tahun silam. “Kepada seluruh masyarakat Sedie Jadi, mulai hari ini saya berharap terima lah saya sebagai saudara, seperti saudara se-ayah dan se-ibu,” ucap Fauzan, disambut tepuk tangan dan haru pada hadirin.
Memutus Mata Rantai Kekerasan
Dalam sambutannya, Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setdakab Bener Meriah, drh. Sofyan menyebutkan silaturahmi ini sangat tepat, khususnya menyambut bulan suci Ramadhan yang tinggal hitungan hari.
“Silaturahmi kebangsaan ini penting guna memutus mata rantai kekerasan yang diakibatkan konflik masa lalu di Bener Meriah, dan Aceh pada umumnya,” ujar Sofyan.
Menurutnya, upaya merajut kohesi sosial antara para pihak yang dulu terlibat konflik ini merupakan hal yang sangat mulia. Sudah saatnya menuntaskan kesalahpahaman akibat konflik di masa lalu.
Pemkab Bener Meriah, lanjutnya, dalam hal ini mewakili negara ingin menunjukkan tanggung jawabnya untuk menjamin kondisi sosial masyarakat. Apalagi, pertemuan kali ini merupakan kelanjutan dari kesepakatan yang pernah terjalin pada tahun 2006, yakni Ikrar Musara Pakat Redelong antara pimpinan PETA dan GAM masa itu.
Ia mengaku terharu dengan sambutan yang disampaikan Fauzan Azima (mantan kombatan) dan Suterisno (perwakilan warga Sedie Jadi). Mengutip pernyataan kedua pihak, sudah saatnya masyarakat Bener Meriah menatap masa depan dengan damai, dan tidak lagi menoleh ke belakang.
“Mari menuju ke depan, mengupayakan perbaikan ekonomi, mari kokohkan kekompakan kita, perkuat tali persaudaraan, apalagi ini salah satu momentum yang paling baik menyambut bulan suci Ramadhan, maka kita dianjurkan untuk bermaaf-maafan,” harap Sofyan.
Sebelum kenduri bersama, kedua pihak (Fauzan Azima dan Suterisno) menjalani prosesi tepung tawar yang difasilitasi oleh pengurus Majelis Adat Gayo (MAG) Bener Meriah. Dalam proses tersebut, keduanya saling bersalaman dan berpelukan, serta mengucapkan ikrar bersama. Acara ini menjadi puncak dari rangkaian kegiatan silaturahmi kebangsaan di Sedie Jadi, dan diselingi dengan penyerahan santunan untuk sejumlah anak yatim.
Untuk diketahui, adapun isi ikrar bersama tersebut berbunyi:
IKRAR BERSAMA SEDIE JADI
Bismillahirrahmanirrahim.
Dengan mengucap puji syukur ke hadirat ALLAH SWT dan salawat serta salam ke haribaan Nabi Besar Muhammad SAW. Dan merujuk Al-Quran Surah Alhujarat 10, “Sesungguhnya orang-orang muslim itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”.
Demi tegaknya harkat dan martabat manusia, terciptanya kehidupan yang lebih baik bagi generasi saat ini dan masa depan. Pada hari ini, Selasa, 29 Maret 2022, bertempat di Kampung Sedie Jadi, Kecamatan Bukit, Kabupaten Bener Meriah, kami para pihak menyatakan sebagai berikut:
1. Bersepakat untuk senantiasa menjaga dan mempertahankan perdamaian serta persaudaraan yang sudah terbangun.
2. Bersepakat untuk saling memaafkan atas apa yang terjadi pada masa lalu terutama dalam peristiwa Pondok Kresek pada 5 Juni 2001.
3. Bersepakat untuk menghilangkan dendam dan memutuskan mata rantai kekerasan agar konflik tidak terulang kembali pada anak maupun cucu kami di masa depan. ”Agih sibelem genap si nge munge”.
Ikrar ini kami sampaikan sebagai upaya untuk merawat silaturahmi hingga ke masa depan. Semoga Allah SWT meridhai dan melindungi kita semua.
Komentar