Wolbachia pelengkap pengendalian DBD: dua misinformasi perlu diluruskan
Citra Indriani, Universitas Gadjah Mada dan Muhammad Ali Mahrus, Universitas Gadjah Mada
Kementerian Kesehatan telah memperluas teknologi Wolbachia untuk mengendalikan penyakit demam berdarah dengue (DBD) di lima kota di luar Yogyakarta yakni Semarang, Jakarta Barat, Bandung, Kupang, dan Bontang sejak Mei 2023. Kelima kota dipilih karena memiliki angka insiden atau kesakitan DBD yang tinggi.
Sebelumnya, riset selama empat tahun dari peneliti World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta membuktikan teknologi nyamuk ber-Wolbachia efektif mengurangi kasus dengue hingga 77% dan menurunkan angka perawatan di rumah sakit akibat infeksi dengue hingga 86%. Hasil menggembirakan ini diperoleh setelah WMP Yogyakarta melalui empat fase penelitian selama 2011 – 2020.
Teknologi ini juga telah diterapkan sebagai metode pelengkap program pengendalian DBD di Kabupaten Sleman dan Bantul pada 2021 dan 2022 secara berurutan dengan hasil yang positif.
Masalahnya, ada beberapa misinformasi di media sosial yang berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sains dan menghambat implementasi teknologi baru ini. Jika informasi keliru itu tidak diluruskan, masyarakat bisa kebingungan.
Misinformasi vs fakta ilmiah
Ada beberapa isu dan misinformasi yang tidak akurat terkait teknologi Wolbachia seperti (1) metode nyamuk ber-Wolbachia dianggap sebagai rekayasa genetika yang berpotensi bahaya ke depan, (2) isu seputar keamanan Wolbachia hingga tudingan (3) Wolbachia “menyebabkan” LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender).
Dua masalah pertama akan dijawab tulisan ini. Sedangkan satu isu terakhir tidak perlu dijelaskan panjang lebar karena jelas tidak ada bukti hubungan sebab-akibat antara teknologi Wolbachia dan LGBT.
Riset Wolbachia terkait pemanfaatan bakteri Wolbachia yang diinjeksikan ke tubuh nyamuk untuk pengendalian demam berdarah, bukan tentang gen atau perilaku manusia, apalagi LGBT. Kita perlu mengedepankan sikap ilmiah untuk menjelaskan suatu masalah dan mengambil kesimpulan.
Kita mulai dari masalah penyakit yang disebarkan oleh vektor bernama nyamuk Aedes aegypti. Secara global, DBD merupakan ancaman kesehatan yang serius. Sekitar 100 hingga 400 juta kasus dengue dilaporkan tiap tahun. Pada awal 2020, WHO menempatkan dengue sebagai satu dari 10 ancaman penyakit global akibat perubahan iklim.
Sekitar setengah dari 7,8 miliar populasi dunia berisiko terkena penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti ini.
Di Indonesia, data Kementerian Kesehatan per Oktober 2023 mencatat ada 57.884 kasus DBD dengan angka kematian mencapai 422 kasus. Setiap tahun angka kematian berfluktuasi, dan yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir terjadi pada 2016 yang mencatatkan 1.598 kematian.
Selain kesakitan dan kematian, penyakit ini juga menghabiskan biaya berobat Rp883 juta-3,7 miliar per bulan pada 2020. Kerugian ekonomi di masyarakat berkisar US$969 juta (Rp15,3 triliun).
Sejauh ini program intervensi untuk mengendalikan DBD masih bergantung pada cara konvensional. Cara itu meliputi mendorong perubahan perilaku masyarakat untuk mencegah gigitan nyamuk dan mengendalikan jumlah nyamuk (vektor) dengan memberantas tempat berkembangbiaknya dan membersihkan lingkungan dari genangan air (3M: menguras, menutup, mengubur) atau membunuh nyamuk dewasa dengan pengasapan (foging) menggunakan insektisida.
Teknologi Wolbachia digunakan untuk melengkapi program pengendalian DBD yang sudah berjalan, sehingga bisa kita sebut program 3M plus Wolbachia. Wolbachia adalah bakteri alami yang terdapat di sebagian besar serangga di sekitar kita. Keberadaan bakteri ini pada lalat buah (Drosophila melanogaster) dapat mengurangi umur lalat buah.
Sayangnya, bakteri ini tidak ditemukan secara alami di nyamuk Aedes aegypti. Para peneliti kemudian berupaya memasukkan Wolbachia ke tubuh Aedes aegypti dengan cara penginjeksian bakteri ke telur nyamuk.
Keberadaan Wolbachia di Aedes aegypti diharapkan dapat memperpendek umur nyamuk seperti yang terjadi pada lalat buah. Dampaknya dapat mengurangi durasi nyamuk untuk menularkan virus dengue pada manusia. Biasanya nyamuk ini bisa hidup atau menularkan virus berkisar satu bulan.
Rupanya umur nyamuk tidak berkurang, tapi peneliti menemukan fakta lain bahwa Wolbachia mampu menghambat proses replikasi virus dengue di tubuh nyamuk. Kemampuan ini dapat menurunkan kapasitasnya sebagai vektor penular dengue. Bagusnya lagi, Wolbachia diturunkan ke keturunan berikutnya melalui jalur betina.
Penelitian pun kemudian dilanjutkan dengan melepas nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia di lingkungan dengan skala terbatas pada 2013. Pelepasan ini bertujuan untuk mengetahui apakah nyamuk ber-Wolbachia mau kawin dengan nyamuk setempat yang tidak ber-Wolbachia dan menghasilkan keturunan nyamuk ber-Wolbachia.
Ketika studi ini memberikan hasil bahwa nyamuk ber-Wolbachia mampu menetap di lingkungan, maka riset pun berlanjut untuk mengetahui kemanjuran pelepasan nyamuk ber-Wolbachia ini dalam mengurangi kejadian dengue. Hasilnya, seperti dikutip di awal tulisan ini, teknologi nyamuk ber-wolbachia menurunkan kasus dengue sampai 77% dan mengurangi perawatan infeksi dengue di rumah sakit hingga 86%.
Jadi, teknologi nyamuk ber-Wolbachia bukan rekayasa genetik melainkan teknologi pemanfaatan bakteri Wolbachia di dalam tubuh nyamuk untuk menurunkan kemampuan nyamuk menyebarkan virus dengue.
Proses injeksi bakteri ke dalam telur nyamuk hanya dilakukan satu kali. Setelah itu hanya perlu ditumbuhkan dan dikawinkan untuk menghasilkan telur-telur nyamuk ber-Wolbachia.
Wolbachia aman bagi manusia dan lingkungan
Sebagai teknologi baru, teknologi Wolbachia telah melalui proses analisis risiko. Proses ini dilakukan selama 6 bulan pada 2015-2016, sebelum pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di Kota Yogyakarta untuk menguji kemanjurannya.
Kementerian Kesehatan dan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi membentuk tim independen untuk mengkaji risiko pelepasan Aedes aegypti ber-Wolbachia dengan skala luas di Yogyakarta.
Tim yang terdiri dari 24 peneliti terbaik Indonesia di bidang masing-masing ini mengidentifikasi dampak jangka panjang yang mungkin terjadi. Fokusnya pada empat hal, yaitu lingkungan, sosial budaya dan ekonomi, manajemen nyamuk dan kesehatan masyarakat. Tim tersebut mengidentifikasi sebanyak 56 potensi risiko yang mungkin terjadi.
Jumlah tersebut ditemukan setelah membahas empat pertanyaan utama: (1) Masalah apa yang dapat terjadi? (2) Bagaimana kemungkinan terjadinya hal yang membahayakan? (3) Seberapa serius hal yang membahayakan tersebut? (4) Bagaimana tingkat risikonya?
Setelah melalui kajian yang intensif, tim berkesimpulan bahwa penerapan teknologi nyamuk ber-Wolbachia untuk menekan penyebaran virus dengue itu aman. Dalam jangka waktu 30 tahun ke depan, peluang peningkatan bahaya akibat pelepasan nyamuk Ae. aegypti ber-Wolbachia dapat diabaikan.
Dengan demikian, keputusan Kementerian Kesehatan untuk memperluas penggunaan teknologi dalam proyek percontohan di lima kota itu memiliki dasar kajian yang kuat.
Proyek percontohan lebih luas tidak lagi untuk meneliti kemanjuran teknologi ini, tapi untuk menyempurnakan pedoman teknis pelaksanaan penerapan Wolbachia yang telah dikembangkan di Yogyakarta sekaligus menjadi program plus dari 3M untuk mengendalikan DBD di kota-kota tersebut.
Proyek percontohan ini diharapkan memiliki luaran berupa pedoman teknis yang telah diadaptasi dengan situasi yang ada di lima kota. Harapannya, teknologi ini dapat diterapkan untuk daerah-daerah endemis DBD lain di Indonesia.
Keterlibatan masyarakat merupakan salah satu kunci keberhasilan penerapan teknologi ini. Di Yogyakarta, sekitar 54.800 “orang tua asuh” terlibat dalam pelepasan nyamuk ber-Wolbachia. Mereka menjaga ember berisi telur nyamuk agar bisa menetas dan menjadi dewasa di lingkungan selama kurang lebih 6 bulan. Sekitar 6.100 kader kesehatan terlibat untuk mengganti telur nyamuk ber-Wolbachia yang telah menetas di ember dengan telur nyamuk ber-Wolbachia yang baru.
Sampai akhir Desember lalu, proyek percontohan di empat kota berjalan lancar. Hanya di Jakarta Barat saja yang belum dilakukan penitipan ember untuk menetaskan telur nyamuk ber-Wolbachia di rumah-rumah warga.
Kita berharap masyarakat di lima kota terlibat sampai tuntas dalam proyek bersejarah untuk mengendalikan DBD dengan teknologi baru ini.
Citra Indriani, Researcher, Center for Tropical Medicine, Universitas Gadjah Mada dan Muhammad Ali Mahrus, Media and Communication Officer, Pusat Kedokteran Tropis, Universitas Gadjah Mada
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Sumber: theconversation.com